Seorang perajin asal Singapura menekuni seni “kasut manek” yang hampir
mati dan menjelaskan kenapa butuh waktu sangat lama untuk memproduksi
sepasang selop manik tradisional.
Di bawah redupnya cahaya sebuah lampu, Robert Sng menjahitkan manik-manik kaca mungil ke kanvas.
Perajin
berusia 61 tahun itu tampak tersenyum puas. Ia duduk di atas meja tua,
jari-jari tangannya memegang-megang potongan kain kanvas yang dihiasi
manik-manik warna-warni.
“Ini proses yang sangat sangat lambat,”
katanya sambil menusukkan jarum ke kain, “Anda hanya bisa
menyelesaikannya jika Anda menikmati pekerjaan ini.”
Saat ia menarik benang, pecahan kecil kaca pun “mengambil tempatnya” di tengah pola rumit berbentuk bunga dan burung.
Meski ukuran desain ini tak lebih dari permukaan tangannya, ia sudah menghabiskan tiga minggu untuk mengerjakannya.
Perlu kesabaran tanpa batas dan tangan yang tak mudah gemetar untuk menyelesaikan rancangan manik-manik ini.
“Sekali
bekerja, saya berkonsentrasi pada tiga baris manik, itu berarti dua jam
sekali duduk,” kata Sng. “Jika saya duduk lebih lama, mata saya akan
lelah dan otot leher mulai sakit.”
Setidaknya butuh satu minggu
lagi sampai karya besar ini selesai. Sesudahnya, Sng akan membawa hasil
kerjanya ke perajin sepatu yang akan membuat suatu produk akhir: selop
manik tradisional atau kasut manek.
Beberapa dekade lalu, kasut manek ini adalah alas kaki pilihan di kalangan peranakan Melayu-Cina di Singapura dan Malaysia.
Dengan
pola-pola rumit, alas kaki ini akan melengkapi gaya pakaian sekaligus
menaikkan status sosial pemakainya yang biasanya adalah orang kaya.
Sejak 1930-an sampai pertengahan abad lalu, kerajinan menghias selop
manik adalah cara menghabiskan waktu dan kemampuan yang harus dimiliki
oleh wanita.
Jika Cinderella punya sepatu kaca, maka para nonya punya sepasang selop manik jahitan tangan.
Kasut
manek begitu populer sampai-sampai perempuan Peranakan — atau para
nonya — memiliki satu pasang kasut yang cocok untuk setiap acara dan
kesempatan.
Sayangnya, seiring zaman berlalu, gaya hidup yang
sibuk tak menyisakan waktu untuk aktivitas semacam ini. Sekarang,
membuat selop manik adalah hobi yang cukup aneh di antara sedikit orang
Singapura.
Sng memang bukan keturunan peranakan, tapi melihat
tetangganya yang sudah tua membuat selop manik ini adalah ingatan masa
kecilnya yang paling kuat.
Hobi ini ia jalani saat berkarir
sebagai pramugara. Setelah pensiun, ia melanjutkan membuat karya-karya
seni ini di toko suvenir antiknya. Meski sepasang kasut manek selalu
berharga tinggi, Sng tak menghasilkan banyak uang dari hobi ini.
Sng menunjukkan karya yang sedang ia kerjakan ke turis-turis asing di tokonya.
“Selop-selop
saya harganya antara S$ 700-900 tergantung desainnya. Terdengar sangat
mahal, tapi butuh 100 jam untuk menyelesaikan sepasang selop,” kata Sng.
Dalam tiga bulan terakhir, ia hanya berhasil menjual sepasang selop.
“Anak-anak
muda sekarang lebih memilih belanja tas kulit bermerek,” ujar dia. Maka
itu, Sng harus mengisi tokonya dengan barang-barang lain yang lebih
mudah terjual.
Walaupun sedikit permintaan, Sng tetap berniat untuk menekuni selop-selop ini selama ia menikmatinya.
“Betul-betul
tidak ada keuntungan dari mengerjakan ini,” Sng mengakui. “Buat saya
ini sekadar aktivitas pensiunan. Sesuatu yang saya cintai dan pembuka
percakapan,” katanya menambahkan.
“Turis-turis datang ke toko
saya dan menanyakan apa yang saya kerjakan -- sebuah kesempatan buat
saya untuk menunjukkan sedikit budaya kami ke mereka.”
sumber : http://id.travel.yahoo.com/jalan-jalan/128-100-jam-demi-sepasang-selop
Tidak ada komentar:
Posting Komentar